Rebo wekasan yaitu hari
rabu terakhir di bulan safar. Dalam rebo wekasan ini Allah menurunkan bala atau
bahaya sampai belasan ribu. Maka di antara upaya agar selamat dari bahaya
tersebut diadakanlah doa bersama
Ritual ini sudah
berlangsung secara turun-temurun di kalangan masyarakat, dari Jawa, Madura,
Sunda, dan masih banyak lagi. Dari setiap daerah ini, pelaksanaannya akan
berbeda-beda. Begitupun dengan sebutan atau namanya. Di NTB, ritual ini
dinamakan mandi safar, yang mana pelaksanaannya di pesisir pantai. Sementara di
Bogor namanya sidekah kupat, semua warga membuat kupat, dan sehari sebelumnya dilakukan
bedah kolam lantas mereka menggoreng ikan. Berdasarkan kepercayaan, masyarakat
di sana tidak ada yang keluar kampung sebelum selesai berdoa.
Di Sukabumi, ritual rebo
wekasan juga ada dan selalu dilaksanakan setiap tahunnya. Dapat dikatakan bahwa
pelaksanaan rebo wekasan ini memang sangat beragam, tergantung pada daerah
masing-masing yang mengadakannya. Namun, meskipun begitu fungsi dari ritual
rebo wekasan ini tetaplah sama dari zaman ke zaman sampai sekarang dimanapun
ritual itu dilaksanakan. Yakni untuk menolak bala
Bala yaitu semacam bahaya
atau musibah, dapat berupa penyakit ataupun bencana. Maka masyarakat yang
melaksanakan ritual tersebut sangat ingin dan berharap selamat atau terhindar
jauh dari marabahaya yang kiranya akan terjadi di hari rabu terakhir bulan
safar tersebut.
Semisal di Sukabumi, rebo
wekasan ini biasa dipimpin oleh KH Buya Royanuddin, pimpinan pondok pesantren
Al-Istiqomah. Dimana acara ritualnya selalu dibuka dengan pengarahan beliau
kepada masyarakat berupa nasihat tentang menjaga alam, sebelum sampai pada
acara intinya yaitu doa tolak bala agar masyarakat atau daerah tersebut
terhindar dari segala macam marabahaya. Doa tolak bala ini memang sangat
penting, dari zaman dahulu sampai sekarang kunci dari ritual rebo wekasan ini
adalah dengan berdoa.
“Dahulu, sebelum matahari
terbit itu jangan dulu keluar rumah karena ditakutkan terjadi apa-apa. Jangan
dulu memakai air atau apa saja yang berkenaan dengan alam sebelum berdoa.”
Selain dari doa bersama,
ritual rebo wekasan di Sukabumi ini juga diadakan sesajen. Yaitu berupa
buah-buahan, tumpeng, timbel, ayam, dan sebagainya. Tujuan dari sesajen itu
sendiri tidak lain untuk makan bersama-sama menyantapi hidangan atau sesajian
yang ada. Kemudian ada kemenyan yang berfungsi sebagai wewangian ketika ritual
itu dimulai. Serta adanya hiburan musik gamelan untuk mengekspresikan
kegembiraan masyarakat yang telah selesai melaksanakan ritualnya.
“Setelah berdoa itu tidak dibubarkan begitu saja, kita mengekspresikan rasa kegembiraan, makan Bersama, ada gendang pencaknya, mengekspresikan rasa kebahagiaan setelah kita menyelesaikan sebuah upacara doa Bersama untuk menolak bala. Intinya seperti itu.” kata Buya dalam wawancara, Sabtu (4/12/2022).
Ritual ini
melibatkan masyarakat banyak, yakni
masyarakat se-Jawa Barat, namun yang hadir hanyalah utusan-utusan dari wilayah
tertentu saja. Tetapi akhir-akhir ini hanya melibatkan masyarakat Sukabumi
karena melihat situasi pandemi. Sebetulnya, ritual rebo wekasan ini juga boleh
diikuti siapa saja tidak ada batasan tertentu. Namun, kiranya masih banyak
masyarakat yang belum mengetahui atau kurang menanggapi bahkan kontra.
“Karena yang diajak doa
itu masyarakat adat dan budaya, maka dilengkapi kebiasaan-kebiasaan, budayanya
tidak ditiadakan. Semacam membawa buah-buahan”
Demikian ritual rebo
wekasan ini dibaluti dengan budaya dan kesenian sehingga membentuk sebuah
pertunjukan. Dimana musik-musik tradisional Sunda mengiringi ritualnya, seperti
gendang pencak tadi. Ada ruang ekspresi atas kebahagiaan masyarakat yang telah
seselasi melaksanakan ritual. Dramawan, Saini KM (2008), mengatakan bahwa seni
pertunjukan awalnya (secara historis) dibangun dari aktifitas religi yang dalam
perkembangannya mengalami desakralasi. Begitu pula dengan ritual rebo wekasan
yang memang terkait dengan religi.
Mengenai wilayah,
dilaksanakannya ritual rebo wekasan ini tidak di sembarang tempat. Setiap
tahunnya akan berbeda-beda tergantung pada ilafat atau petunjuk sebelum
memasuki hari rabu terakhir di bulan safar. Setelah mendapatkan ilafat itulah,
baru masyarakat pada keesokan harinya akan mendatangi tempat yang telah
ditentukan berdasarkan ilafat tadi. Jadi, tempatnya tidak ditentukan oleh
masyarakat tetapi sesuai ilafat yang datang ke beberapa orang kasepuhan yang
biasa ikut serta dalam ritual rebo wekasan di Sukabumi tersebut.
“Misalnya ini harus di
pesisir maka ritualnya akan diadakan di laut. Ilafat itu semacam petunjuk. Karena
ini merupakan kaitan dengan potensialitas bencana atau musibah. Musibah ini
diarahkan kemana oleh Allah. Misalnya kenapa di gunung karena ada potensialitas
longsor, maka berdoalah di situ.”
Tanggapan masyarakat
terhadap ritual ini, umumnya menyambut. Akan tetapi dari kalangan pesantren
yang sudah terkontaminasi atau tercampur cara pandang Timur Tengah dan pasca
Timur Tengah itu mereka sangatlah kontra. Meski begitu, ritual ini tetaplah
berjalan karena masih banyak dukungan masyarakat yang menjadikannya tetap bertahan sampai sekarang. Tersebab juga ritual rebo wekasan tetaplah
memakai adab yang tak bertentangan dengan syariat.
Dengan diadakannya
rangkaian ritual tersebut, mulai dari pembukaan arahan, doa, makan bersama,
sampai hiburan, masyarakat merasa tenang dan lega. Tidak ada rasa khawatir atau
pun takut. Karena bagaimanapun mereka telah berusaha dan berdoa kepada yang
Maha Kuasa agar selamat dari segala macam marabahaya alam maupun penyakit atau
musibah lainnya. Dengan berupaya menjaga, menghormati, dan memelihara alam;
gunung. air, hutan, dan sebagainya. Sesuai fungsi yang ditujunya yaitu menolak
bala.
Komentar
Posting Komentar